Oleh : Madari, S. Ag (Penghulu)
Seiring dengan kemajuan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat. Hal ini setidaknya merupakan akibat dari dua hal : pertama, lemahnya pemahaman agama, kedua dampak dari proses akulturasi dan asimilasi budaya sehingga budaya-budaya yang terkesan “modern” lebih kuat pengaruhnya ketimbang ajaran agama.
Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan, dimana soal iman seringkali diremehkan dalam sebuah proses memilih pasangan hidup. Kebanyakan orang justru mengedepankan perasaan cinta dan kriteria duniawi, dampaknya yang kita rasakan saat ini adalah meningkatnya angka keretakan rumah tangga yang disebabkan oleh perilaku yang kalau kita mau akui lebih jujur, biang keladinya adalah lemahnya iman.
Ironisnya saat ini malah justru semakin banyak kasus perkawinan antar agama, yaitu perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita yang tunduk pada agama yang berbeda, demikian menurut Suparman Usman dalam bukunya yang berjudul “Perkawinan Antar Agama”. Tuntutan agar perkawinan antar pasangan yang berbeda agama bisa disahkan di Indonesia agaknya semakin deras belakangan ini. Apalagi hal ini umumnya dilakukan oleh para selebritis yang notabene disaksikan publik karena pernikahan mereka biasanya di blow up oleh media. Hal inilah yang kemudian dapat membentuk opini masyarakat bahwa pernikahan antar agama itu adalah hal biasa, karena secara sosiologis, sebuah kesalahan -sekalipun- jika terlalu sering dibiasakan lama-kelamaan bisa dipandang baik.
Kita semua sepakat bahwa sesungguhnya pernikahan antar agama ini sampai kapanpun tidak dapat dibenarkan, setidaknya karena tiga alasan :
1. Melanggar Hukum Agama
Al-Qur'an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 221:
Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
Al Musyrikat dan Al Musyrikin dalam ayat ini menurut para ahli tafsir adalah orang-orang musyrik penyembah berhala dan agama-agama lain termasuk Ahlul Kitab (tafsir ayatul ahkam, Muhammad Ali Asshabuny). Karena menurut Al-Qur'an Ahlul Kitab adalah juga orang musyrik, Berdasarkan firman Allah dalam Surat At Taubah ayat 30-31:
“Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka;bagaiman mereka sampai berpaling?”(QS. At Taubah : 30)
“Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.”(QS. At Taubah : 31)
Ibnu Umar ketika ditanya mengenai seorang muslim yang menikah dengan wanita nasrani dan yahudi, beliau berkata : “saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seorang perempuan yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa”.
Jadi jelas bahwa dalam pandangan Islam, seorang budak yang beriman lebih baik dihadapan Allah Swt ketimbang seorang musyrik meskipun lebih menarik dan terhormat. Sebagaimana sebuah kisah yang pernah dialami oleh seorang sahabat nabi bernama Abdullah bin Rowahah yang mempunyai seorang budak perempuan berkulit hitam yang sering dimarahinya. Tapi kemudian ketika ia mengadukan budaknya itu kepada Rasulullah, Rasul bertanya : “ Siapa dia wahai Abdullah?”, “ Dia adalah budakku, dia rajin sholat, puasa, menyempurnakan wudhunya, bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Engkau adalah RasulNya”. Kemudian Rasulullah berkata : “ Dia adalah mu'minah yang sejati”. Lalu Abdullah berkata lagi “ Demi Allah yang telah mengutusmu, pasti aku akan memerdekakannya dan menikahinya”. Walaupun kemudian setelah menikah Abdullah bin rowahah mendapat hinaan dari kawan-kawannya yang lebih memilih wanita-wanita musyrik yang terhormat untuk menjadi istri mereka.
2. Melanggar undang-undang perkawinan.
Di dalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak dikenal istilah perkawinan antar agama sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1, yaitu “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Hal ini membuktikan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang berbeda agama dan keyakinan jelas melanggar hukum dan tidak bisa dilaksanakan di Negara Republik Indonesia dan seharusnya tidak ada toleransi atau pembelaan terhadap mereka yang melakukan itu baik oleh perseorangan maupun lembaga apapun.
Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melayani pencatatan pernikahan pun tidak akan melayani sebuah pernikahan selama pasangan calon suami istri masih berbeda agama. Masyarakat juga diharapkan bisa mengikuti aturan ini dengan baik, artinya jangan kemudian disiasati dengan cara berpura-pura masuk ke agama yang dianut oleh pasangannya hanya karena ingin memenuhi persyaratan administratif, tapi setelah berumah tangga ia kembali ke agamanya semula.
3. Tidak akan tercapai tujuan perkawinan
Setiap perkawinan pasti bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian, keberkahan, mendapatkan ketenangan batin yang dalam Al-Qur'an disebut dengan istilah sakinah. Menurut Prof. DR. Quraisy Shihab, larangan perkawinan antar agama yang berbeda itu dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, latar belakang sosial atau bahkan perbedaan tingkat pendidikanpun tidak jarang mengakibatkan kegagalan dalam perkawinan.
Para ulama pun sepakat bahwa prasyarat penting yang harus dipenuhi seseorang dalam mencapai sakinah dalam rumah tangganya adalah sesuai dengan hadits Rasulullah : Fazfar bidzatiddin. Artinya, tolak ukur keberagamaan seseorang adalah yang paling utama Seperti yang tercermin dalam keluarga Rasulullah SAW. Rasulullah dapat merasakan suasana surgawi (baiti jannati) dalam rumah tangganya, karena semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang taat kepada Allah SWT.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin perkawinan seseorang bisa mencapai suasana sakinah jika tidak dilandasi dengan keyakinan yang sama .... ?.
Jawabanya adalah tidak mungkin, kalaupun mereka terlihat “bahagia” pasti kebahagiaan yang semu. Sebab dalam pandangan Islam, hakekat kebahagiaan itu adalah ketenangan batin (ithmi'nanul qolb) dan hal itu hanya akan didapat ketika orang dekat dengan Tuhannya.
Pertanyaannya, “Apakah ada orang yang dapat mengekspresikan ketaatannya kepada Allah secara totalitas sementara di sisinya ada orang yang 'dicintainya' menyembah tuhan yang lain ???”. Setiap anggota keluarganya akan sangat sulit mencapai ketaatan hakiki dalam agamanya masing-masing. Karena setiap kali akan menjalankan ajaran agama, ia akan mempertimbangkan perasaan anggota keluarga yang lain. Yang bergama Islam, misalnya akan sulit memelihara sholat 5 waktu, puasa, apalagi amalan-amalan sunah yang menunjukkan ketaatan secara totalitas, begitu juga yang bergama lain pasti akan punya perasaan yang sama. Memang selama ini nampak juga sikap toleransi dari pasangan yang berbeda agama, tapi itu hanya pada tataran kulit, tegasnya hanya pada simbol-simbol agama – seperti pada perayaan natal atau lebaran saja- bukan pada substansi ajaran agama.
Akibat pernikahan antar agama
Selain tidak akan tercapainya kebahagiaan yang hakiki dalam rumah tangga, perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai ekses yang berkepanjngan di belakang hari, seperti :
1. Melahirkan keturunan yang tidak jelas nasabnya
Karena pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum Islam, maka keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut disebut anak garis ibu, artinya dia terputus nasabnya dari bapaknya yang memproses secara biologis. Jika kemudian terlahir anak perempuan dari pernikahan mereka, kemudian anak perempuan ini beragama islam sedangkan bapaknya beragama lain, maka dia tidak bisa diwalikan oleh bapak. Apabila dipaksakan bapak biologisnya menjadi wali nikah, maka pernikahan anak tersebut tidak sah. Dan pernikahan yang tidak hanya akan sah melahirkan hubungan suami istri yang tidak sah alias zina.
2. Terputusnya hak waris
Dalam agama Islam, salah satu penyebab seseorang tidak bisa mendapatkan harta waris (terputus hak warisnya) yaitu perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Hal ini bisa saja menimbulkan konflik (perebutan harta waris) yang berkepanjangan jika terdapat beberapa ahli waris yang berbeda agama dalam sebuah keluarga.
3. Membuat ketidakpastian dalam memilih agama
Karena biasanya orangtua yang berbeda agama cenderung memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya. Kebebasan ini justru sebenarnya akan menjadi beban psikologis terhadap anak-anak mereka, sebab :
1. Seorang anak yang belum mencapai kematangan berfikir dan tidak memiliki wawasan keagamaan, sesungguhnya akan membuat mereka bingung dalam menentukan pilihan agamanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka hidup dalam ketidakpastian dan akan selalu diliputi keragu-raguan.
2. Beban psikologis besar juga akan dirasakan oleh anak dari pasangan berbeda agama ini ketika mereka mempertimbangkan perasaan salah satu dari orangtuanya, apakah akan ikut agama bapak atau ibu. Hal ini tidak bisa dianggap remeh sekalipun orangtua memberi kebebasan, tetap anak akan merasakan kebimbangan dalam menentukan pilihannya.
3. Yang paling dihawatirkan adalah, karena selalu diliputi kebingungan dan ketidakpastian pada akhirnya anak-anak mereka masa bodo terhadap agama, mereka memilih hidup bebas seperti orang yang tidak beragama.
Renungkanlah........!!!
Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan, dimana soal iman seringkali diremehkan dalam sebuah proses memilih pasangan hidup. Kebanyakan orang justru mengedepankan perasaan cinta dan kriteria duniawi, dampaknya yang kita rasakan saat ini adalah meningkatnya angka keretakan rumah tangga yang disebabkan oleh perilaku yang kalau kita mau akui lebih jujur, biang keladinya adalah lemahnya iman.
Ironisnya saat ini malah justru semakin banyak kasus perkawinan antar agama, yaitu perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita yang tunduk pada agama yang berbeda, demikian menurut Suparman Usman dalam bukunya yang berjudul “Perkawinan Antar Agama”. Tuntutan agar perkawinan antar pasangan yang berbeda agama bisa disahkan di Indonesia agaknya semakin deras belakangan ini. Apalagi hal ini umumnya dilakukan oleh para selebritis yang notabene disaksikan publik karena pernikahan mereka biasanya di blow up oleh media. Hal inilah yang kemudian dapat membentuk opini masyarakat bahwa pernikahan antar agama itu adalah hal biasa, karena secara sosiologis, sebuah kesalahan -sekalipun- jika terlalu sering dibiasakan lama-kelamaan bisa dipandang baik.
Kita semua sepakat bahwa sesungguhnya pernikahan antar agama ini sampai kapanpun tidak dapat dibenarkan, setidaknya karena tiga alasan :
1. Melanggar Hukum Agama
Al-Qur'an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 221:
ولاتنكحواالمشركات حتى يؤمن ولامةمؤمنةخيرمن مشركةولواعجبتكم ولاتنكحواالمشركين حتى يؤمنوا
ولعبد مؤمن خير من مشرك ولواعجبكم اولئك يدعون الى الناروالله يدعو الى الجنةوالمغفرة باذنه ويبين اياته
للناس لعلهم يتذكرون
ولعبد مؤمن خير من مشرك ولواعجبكم اولئك يدعون الى الناروالله يدعو الى الجنةوالمغفرة باذنه ويبين اياته
للناس لعلهم يتذكرون
Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
Al Musyrikat dan Al Musyrikin dalam ayat ini menurut para ahli tafsir adalah orang-orang musyrik penyembah berhala dan agama-agama lain termasuk Ahlul Kitab (tafsir ayatul ahkam, Muhammad Ali Asshabuny). Karena menurut Al-Qur'an Ahlul Kitab adalah juga orang musyrik, Berdasarkan firman Allah dalam Surat At Taubah ayat 30-31:
“Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka;bagaiman mereka sampai berpaling?”(QS. At Taubah : 30)
“Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.”(QS. At Taubah : 31)
Ibnu Umar ketika ditanya mengenai seorang muslim yang menikah dengan wanita nasrani dan yahudi, beliau berkata : “saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seorang perempuan yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa”.
Jadi jelas bahwa dalam pandangan Islam, seorang budak yang beriman lebih baik dihadapan Allah Swt ketimbang seorang musyrik meskipun lebih menarik dan terhormat. Sebagaimana sebuah kisah yang pernah dialami oleh seorang sahabat nabi bernama Abdullah bin Rowahah yang mempunyai seorang budak perempuan berkulit hitam yang sering dimarahinya. Tapi kemudian ketika ia mengadukan budaknya itu kepada Rasulullah, Rasul bertanya : “ Siapa dia wahai Abdullah?”, “ Dia adalah budakku, dia rajin sholat, puasa, menyempurnakan wudhunya, bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Engkau adalah RasulNya”. Kemudian Rasulullah berkata : “ Dia adalah mu'minah yang sejati”. Lalu Abdullah berkata lagi “ Demi Allah yang telah mengutusmu, pasti aku akan memerdekakannya dan menikahinya”. Walaupun kemudian setelah menikah Abdullah bin rowahah mendapat hinaan dari kawan-kawannya yang lebih memilih wanita-wanita musyrik yang terhormat untuk menjadi istri mereka.
2. Melanggar undang-undang perkawinan.
Di dalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak dikenal istilah perkawinan antar agama sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1, yaitu “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Hal ini membuktikan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang berbeda agama dan keyakinan jelas melanggar hukum dan tidak bisa dilaksanakan di Negara Republik Indonesia dan seharusnya tidak ada toleransi atau pembelaan terhadap mereka yang melakukan itu baik oleh perseorangan maupun lembaga apapun.
Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melayani pencatatan pernikahan pun tidak akan melayani sebuah pernikahan selama pasangan calon suami istri masih berbeda agama. Masyarakat juga diharapkan bisa mengikuti aturan ini dengan baik, artinya jangan kemudian disiasati dengan cara berpura-pura masuk ke agama yang dianut oleh pasangannya hanya karena ingin memenuhi persyaratan administratif, tapi setelah berumah tangga ia kembali ke agamanya semula.
3. Tidak akan tercapai tujuan perkawinan
Setiap perkawinan pasti bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian, keberkahan, mendapatkan ketenangan batin yang dalam Al-Qur'an disebut dengan istilah sakinah. Menurut Prof. DR. Quraisy Shihab, larangan perkawinan antar agama yang berbeda itu dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, latar belakang sosial atau bahkan perbedaan tingkat pendidikanpun tidak jarang mengakibatkan kegagalan dalam perkawinan.
Para ulama pun sepakat bahwa prasyarat penting yang harus dipenuhi seseorang dalam mencapai sakinah dalam rumah tangganya adalah sesuai dengan hadits Rasulullah : Fazfar bidzatiddin. Artinya, tolak ukur keberagamaan seseorang adalah yang paling utama Seperti yang tercermin dalam keluarga Rasulullah SAW. Rasulullah dapat merasakan suasana surgawi (baiti jannati) dalam rumah tangganya, karena semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang taat kepada Allah SWT.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin perkawinan seseorang bisa mencapai suasana sakinah jika tidak dilandasi dengan keyakinan yang sama .... ?.
Jawabanya adalah tidak mungkin, kalaupun mereka terlihat “bahagia” pasti kebahagiaan yang semu. Sebab dalam pandangan Islam, hakekat kebahagiaan itu adalah ketenangan batin (ithmi'nanul qolb) dan hal itu hanya akan didapat ketika orang dekat dengan Tuhannya.
الابذكرالله تطمئن القلوب
Ketahuilah hanya dengan zikir (dekat) kepada Allah hati bisa tenang.
QS.Al Ra'ad : 28)
Ketahuilah hanya dengan zikir (dekat) kepada Allah hati bisa tenang.
QS.Al Ra'ad : 28)
Pertanyaannya, “Apakah ada orang yang dapat mengekspresikan ketaatannya kepada Allah secara totalitas sementara di sisinya ada orang yang 'dicintainya' menyembah tuhan yang lain ???”. Setiap anggota keluarganya akan sangat sulit mencapai ketaatan hakiki dalam agamanya masing-masing. Karena setiap kali akan menjalankan ajaran agama, ia akan mempertimbangkan perasaan anggota keluarga yang lain. Yang bergama Islam, misalnya akan sulit memelihara sholat 5 waktu, puasa, apalagi amalan-amalan sunah yang menunjukkan ketaatan secara totalitas, begitu juga yang bergama lain pasti akan punya perasaan yang sama. Memang selama ini nampak juga sikap toleransi dari pasangan yang berbeda agama, tapi itu hanya pada tataran kulit, tegasnya hanya pada simbol-simbol agama – seperti pada perayaan natal atau lebaran saja- bukan pada substansi ajaran agama.
Akibat pernikahan antar agama
Selain tidak akan tercapainya kebahagiaan yang hakiki dalam rumah tangga, perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai ekses yang berkepanjngan di belakang hari, seperti :
1. Melahirkan keturunan yang tidak jelas nasabnya
Karena pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum Islam, maka keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut disebut anak garis ibu, artinya dia terputus nasabnya dari bapaknya yang memproses secara biologis. Jika kemudian terlahir anak perempuan dari pernikahan mereka, kemudian anak perempuan ini beragama islam sedangkan bapaknya beragama lain, maka dia tidak bisa diwalikan oleh bapak. Apabila dipaksakan bapak biologisnya menjadi wali nikah, maka pernikahan anak tersebut tidak sah. Dan pernikahan yang tidak hanya akan sah melahirkan hubungan suami istri yang tidak sah alias zina.
2. Terputusnya hak waris
Dalam agama Islam, salah satu penyebab seseorang tidak bisa mendapatkan harta waris (terputus hak warisnya) yaitu perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Hal ini bisa saja menimbulkan konflik (perebutan harta waris) yang berkepanjangan jika terdapat beberapa ahli waris yang berbeda agama dalam sebuah keluarga.
3. Membuat ketidakpastian dalam memilih agama
Karena biasanya orangtua yang berbeda agama cenderung memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya. Kebebasan ini justru sebenarnya akan menjadi beban psikologis terhadap anak-anak mereka, sebab :
1. Seorang anak yang belum mencapai kematangan berfikir dan tidak memiliki wawasan keagamaan, sesungguhnya akan membuat mereka bingung dalam menentukan pilihan agamanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka hidup dalam ketidakpastian dan akan selalu diliputi keragu-raguan.
2. Beban psikologis besar juga akan dirasakan oleh anak dari pasangan berbeda agama ini ketika mereka mempertimbangkan perasaan salah satu dari orangtuanya, apakah akan ikut agama bapak atau ibu. Hal ini tidak bisa dianggap remeh sekalipun orangtua memberi kebebasan, tetap anak akan merasakan kebimbangan dalam menentukan pilihannya.
3. Yang paling dihawatirkan adalah, karena selalu diliputi kebingungan dan ketidakpastian pada akhirnya anak-anak mereka masa bodo terhadap agama, mereka memilih hidup bebas seperti orang yang tidak beragama.
Renungkanlah........!!!
Islam itu agama yang penuh kasih sayang bukan penuh kebencian, kata-katamu adalah menyulut kebencian.
BalasHapusIslam memang Agama Rahmatan lil 'alamin tapi bukan berarti harus membenarkan kemungkaran, Islam memiliki aturan-aturan yang jelas dan tegas untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan ummat manusia.
BalasHapusKedamaian tidak tercipta dari aturan, tapi dari perasaan. Apa perasaan bisa diatur? Apa ada bukti perkawinan antar agama menghasilkan anak2 yang berperilaku buruk? Kebanyakan dampak2 negatif yang dijabarkan penulis itupun terjadi karena dampak aturan2 (aturan warisan, aturan agama). Bukan karena manusianya yang tidak baik. Lebih baik munafik dan pura2 jadi Islam supaya bisa menikah, daripada dicap zina?
BalasHapusbagaimana kamu hidup tanpa aturan? Bahkan naik sepeda motor ada aturan,sampai memakai sepatu juga ada aturannya,apa yg terjadi jika kamu tidak taat atura? apalagi pernikahan! Tentu pasti diatur oleh agama islam,semua ada aturannya
BalasHapusBerzinah seumur hidup, munafiq setiap waktu..
BalasHapuskenapa gk jadi hamba setan dan iblis sekalian.
saya suka dan setuju jika semua hamba muslim dan muslimah bisa lebih mengerti tentang masa depan yg spt apa yg harus dicasri dan dimiliki hingga akhir khayat nanti...
wassalam kawant..semoga selalu dalam baroqah dan hidayah Allah SWT. amin