Assalamu'alaikum,Selamat Datang di Website KUA Kec.Kalideres,Ramah dalam pelayanan,Profesional dalam bekerja

Kamis, 28 April 2011

Isti'dzan Dalam Pernikahan

Oleh: HM. MUJIB QULYUBI, MH
Penghulu KUA Kec. Kalideres, Jakarta barat

Dalam setiap ibadah tentu ada syarat dan rukun yang mesti terpenuhi demi mendapatkan keabsahan ibadah itu sendiri , tak terkecuali dalam proses pernikahan. Syarat dan rukun dalam pernikahan tentu sudah lazim dan tentu sudah dihafal oleh setiap penghulu, apalagi kepala Kantor Urusan Agama. Istilah isti’dzan bukan termasuk syarat juga bukan rukun dalam pernikahan tetapi biasa dilakukan oleh penghulu dalam setiap proses pernikahan, utamanya di daerah propinsi DKI Jakarta dan sekitarnya. Isti’dzan atau permohonan izin biasa dilakukan oleh calon penganten putri kepada orang tuanya sesaat sebelum pernikahan (ijab qobul) dilakukan didepan penghulu. Tidak jelas, siapa yang pertama berjasa menganjurkan isti’dzan dalam pernikahan ini, tetapi secara turun tumurun tradisi ini sudah melekat dalam setiap pernikahan, khususnya di DKI Jakarta dan sekitarnya. Karena ini sebuah tradisi lokal, maka jarang kita temukan kebiasaan ini pada masyarakat Jawa Timur atau Jawa Tengah misalnya.

Isti’dzan dan pengaruhnya
Isti’dzan memang bukan syarat dan rukun dalam pernikahan, tetapi hanya kebiasaan atau adat dan tradisi dalam komunitas masyarakat Ibu kota Jakarta, tetapi justru pada lazimnya, dalam keadaan isti’dzan atau sungkem ini kedua belah pihak antara calon penganten putri dan orang tua calon penganten putri merasakan puncak psikologis keharuan yang tidak tertahankan. Permohonan izin dan restu serta permohonan maaf dan do’a dari lubuk hati yang paling dalam biasanya dijawab pula dengan perasaan hati yang paling dalam pula dari orang tua calon penganten, bahkan tidak jarang sampai tidak bisa terkatakan dengan kata-kata, namun terkatakan dengan isak tangis sebagai simbul pemberian restu dan doa yang paling tulus dari orang tua kepada anaknya. Kalimat isti’dzan yang biasa diucapkan oleh calon penganten putri kurang lebih seperti ini:
”Ibu dan bapak, ananda mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan yang selama ini ananda lakukan. Ibu dan bapak, saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala pemberihan, didikan dan jasa yang telah ibu bapak berikan kepada saya, saya sadar belum bisa membalasnya, semoga Allah SWT akan membalas dengan sebaik-baik balasan. Ibu dan bapak, saya mohon izin dan doa serta restu untuk dinikahkan dan dikawinkan kepada fulan bin bapak fulan.Saya ridho, saya rela, saya ikhlas Bapak menikahkan diri saya kepadanya, semoga Allah SWT akan selalu memberikan berkah dan bimbinganNya kepada keluarga kami”.

Mencermati praktek isti’dzan yang biasanya dilakukan dalam pernikahan di DKI Jakarta, nampaknya tradisi ini bisa dikatakan “kearifan lokal” atau “Local wisdom” yang penuh muatan etika dan dakwah dalam islam. Meski dalam waktu yang singkat, sesungguhnya disini penghulu berperan sangat penting untuk berdakwah mengingatkan kembali betapa besar peran dan doa orang tua bagi anak-anaknya. Dalam konteks fikih orang tua kandung sebagai wali nasab memang adalah wali mujbir yang mempunyai hak untuk memaksa anak putrinya menikah dengan pria pilihanya, tetapi dalam konteks budaya dan etika alangkah sangat indahnya apabila nuansa ridho dan ikhlas juga terpancar dari anak dan orang tuanya.

Sebagai ‘sarana’ penyampaian ajaran islam metode dakwah sebagai sebuah pendekatan penempati posisi yang sangat penting, apa lagi jika dikaitkan dengan konteks perkembangan islam di Indonesia dengan munculnya istilah Islam garis keras, maka berbagai cara dan berbagai forum bisa dijadikan media dakwah islamiyah secara lembut dan humanis. Penghulu bisa berperan ganda, disamping sebagai pencatat pernikahan juga sebagai da’I yang melakukan dakwah melalui media isti’dzan dengan menerima tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran islam.

Kaidah fikih mengatakan: al ‘adatu muhakkamah (kebiasaan bisa menjadi hukum) ini adalah merupakan derivasi (turunan) penafsiran firman Allah dalam surat al A’raf 199 : wa’mur bil ‘urfi wa a’ridh ‘anil jahiliin. Menurut mufassir Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab tafsir Sofwatu al-Tafaasier menjelaskan bahwa pengertian wa’mur bil ‘urfi sebagai: al ma’ruf wal jamiil al mustahsan minal aqwaal wal af’aal artinya kebaikan dan keindahan yang dianggap baik berupa perkataan dan perbuatan. Dalam konteks ini maka Al ‘urf bisa diartikan dengan tradisi, adat, kebiasaan, amalan yang menjadi kelaziman dalam masyarakat setempat.

Isti’dzan bagi calon penganten putra
Dalam praktek isti’dzan di masyarakat Jakarta nampaknya hanya berlaku bagi calon penganten wanita, padahal bila forum ini dijadikan “obyek dakwah” dan bukan masuk syarat rukun pernikahan (fikih), maka calon penganten pria justru lebih diperlukan mendapat “dakwah” dari para penghulu. Barangkali perlu dimulai pembiasaan isti’dzan dari calon penganten putra dalam rangka penyamaan gender dan pemberian izin serta restu dari orang tua kepada putranya secara publik dan pada saat-saat suasana sakral. Permohonan izin dari calon penganten putra bukan kepada wali nikah tentunya, tetapi kepada orang tuanya yang sudah begitu banyak memberikan jasa kepadanya, sehingga kalimat isti’dzannya bukan seperti kalimat yang diucapkan oleh calon penganten wanita (mohon dinikahkan dan dikawinkan), tapi lebih pada permohonan izin dan restu serta permohonan maaf dari seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini memang belum lumrah dilakukan di Jakarta karena memang belum ada yang memulai, tetapi apabila hal ini dipandang sebagai tradisi yang baik serta tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, kenapa kita tidak memulai? Ada pepatah Arab mengatakan : Al Fadhlu lil mubtadi wa in ahsanal muqtadi artinya keutamaan nilai adalah milik yang memulai, walau pengikutnya nantinya berkreasi lebih baik.
Wallahua’lam bishowab wal khoto’

Selengkapnya...